Skip to main content

Karena Wartawan Bukan Intel

Jaksa Agung meminta wartawan yang mewawancarai koruptor buron melapor. Bisa mengancam kredibilitas wartawan.

STATUSNYA buron, tapi tak keberatan diwawancarai wartawan. Inilah gaya pelarian Dharmono K. Lawi. Selain diwawancarai media cetak, bekas Ketua DPRD Banten yang kini anggota DPR RI itu juga muncul di layar televisi. Lewat media itulah Dharmono mengeluarkan unek-uneknya. Ia mengaku memilih kabur lantaran diperlakukan tidak adil oleh aparat hukum.

Munculnya Dharmono di hadapan wartawan membuat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh gusar. ”Ada yang bilang wartawan saja bisa bertemu, masak kejaksaan nggak bisa,” katanya. Karena itu Jaksa Agung meminta wartawan yang berhasil menemui buron itu melapor ke kejaksaan. ”Sebaiknya wartawan membantu aparat penegak hukum,” katanya.

Menurut Jaksa Agung, koruptor merupakan buron negara dan bukan hanya buron kejaksaan. Jadi, wartawan punya kewajiban sama. ”Memang ada soal kode etik wartawan dan hak tolak. Tapi ada kewajiban asasi warga negara,” kata Abdul Rahman.

Arman, demikian Jaksa Agung ini biasa dipanggil kolega dekatnya, menunjuk kewajiban itu ada pada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 13 undang-undang itu, kata Abdul Rahman, menegaskan bahwa setiap orang harus membantu dalam bentuk memberikan kesaksian dalam kasus korupsi. Tak terkecuali wartawan. ”Yang boleh menolak hanya rohaniwan,” katanya.

Bagi praktisi media, permintaan seperti itu sulit dipenuhi. ”Ini menyangkut kepercayaan narasumber dan publik,” kata General Manager of Current Affair ANTV, Ivan Haris. Menurut Ivan, kode etik jurnalistik mewajibkan wartawan melindungi identitas narasumber yang minta dirahasiakan. ”Lagi pula, wartawan bukan intel,” kata Ivan. Setelah Dharmono muncul dalam acara Wanted di ANTV, pengelola televisi ini sempat dipanggil ke Kejaksaan Agung.

Anggota Dewan Pers, Leo Batubara, mendukung pendapat Ivan. Menurut Leo, tidak mungkin wartawan memberikan informasi kepada kejaksaan tentang keberadaan narasumber, termasuk koruptor. ”Kewajiban wartawan memenuhi kepentingan publik, bukan kejaksaan,” kata Leo. ”Kalau wartawan lapor, pers tidak akan dipercaya lagi karena dianggap sebagai agen aparat keamanan,” tambahnya.

Wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja menekankan, bagi wartawan kepercayaan publik merupakan sesuatu yang sangat penting. Pelanggaran terhadap prinsip itu, ujarnya, sama dengan menerobos kode etik. ”Bobot dosanya sama dengan membuat berita bohong,” ujarnya. Jika dilanggar, kata Atmakusumah, tak hanya menghancurkan kredibilitas sang wartawan, juga media dan pers Indonesia.

Bekas redaktur senior harian Indonesia Raya ini berharap, para wartawan meniru almarhum H.B. Jassin dalam menjaga identitas narasumber. Jassin memilih bungkam saat dipaksa mengungkap siapa Ki Panjikusmin, penulis cerpen Langit Makin Mendung, yang dimuat di majalah Sastra pada 1968 dan dianggap menghina umat Islam. Jassin diadili dan divonis setahun penjara. Sampai kini, siapa itu Ki Panjikusmin tidak terungkap.

Atmakusumah memberikan contoh kasus yang hampir serupa di Amerika Serikat. Dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, selama 35 tahun menutup rapat narasumber yang memberi mereka informasi skandal Watergate yang melibatkan Presiden Nixon. Sang sumber itu, Mark Felt, yang akhirnya—setelah 30 tahun lebih—mengaku ke publik sebagai pemasok informasi kepada dua wartawan tersebut. ”Bagi wartawan, sangat penting menjaga kepercayaan publik. Jika tidak, dia kehilangan kredibilitasnya,” kata bekas Ketua Dewan Pers ini.

Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudi Satryo Mukantardjo mengatakan, jika permintaan Jaksa Agung itu sebatas imbauan, hal itu tak membawa persoalan. ”Sebab, wartawan punya kode etik yang tak membolehkan membuka narasumber yang minta dirahasiakan,” katanya. Berdasar pengamatan Rudi, wartawan biasanya siap dipenjara untuk memegang prinsip tersebut.

Abdul Rahman agaknya mafhum, tembok tebal menghalang di depan matanya jika ia memaksa wartawan melaporkan keberadaan para koruptor yang mereka wawancarai. Arman menyatakan bahwa ia memahami kode etik wartawan yang tak mengizinkan membuka identitas narasumber. ”Tapi, mari kita buka wacana itu,” katanya.

Abdul Manan, Maria Hasugian

Majalah Tempo, Edisi. 41/XXXV/04 - 10 Desember 2006

Comments

Anonymous said…
Duh Om Arman..
Jadi kerjaanya intel apa dong?
SEKJEN PENA 98 said…
* Di sini ada cerita
Tentang cinta
Tentang air mata
Tentang tetesan darah

Disini ada cerita
Tentang kesetiaan
Juga pengkhianatan

Disini ada cerita
Tentang mimpi yang indah
Tentang negeri penuh bunga
Cinta dan gelak tawa

Disini ada cerita
Tentang sebuah negeri tanpa senjata
Tanpa tentara
Tanpa penjara
Tanpa darah dan air mata

Disini ada cerita tentang kami yang tersisa
Yang bertahan walau terluka
Yang tak lari walau sendiri
Yang terus melawan ditengah ketakutan!

Kami ada disini
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236