Skip to main content

Dokumen Yang Memanaskan Jakarta

Lembar power point itu hanya terdiri dari enam halaman. Dengan judul "3G: impact and update", November 2009, para pembaca secara sekilas akan menyangka ini presentasi usaha perusahaan telekomunikasi. Setelah melihat keterangan di sisi kiri atas dan bawahnya, barulah diketahui bahwa ini bukan kertas presentasi biasa dan berasal dari organisasi rahasia.
Keterangannya menunjukkan bahwa ini adalah dokumen badan intelijen sinyal Australia, Australian Signal Direktorate (ASD), Dokumennya diklasifikasi "Top Secret Comint", yang merupakan bahan intelijen yang diperoleh dari "intelijen komunikasi" dan dikategorikan 'sangat rahasia', satu tingkat lebih tinggi dari 'rahasia'.

Dokumen, yang seharusnya tak diketahui publik itu, dirilis Guardian Australia dan Fairfax Media, Senin pekan lalu. Dokumen yang melansir kabar bahwa Intelijen Australia menyadap komunikasi Presiden dan lingkaran dekatnya itu berasal dari eks analis badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA) Edward Snowden. Ia diburu Amerika dan kini berada Moskow setelah mendapatkan suaka sementara dari Pemerintah Rusia, sejak Juli lalu.

Kabar ini menyulut kemarahan dari Jakarta dan mulai muncul desakan agar Perdana Menteri Australia Tony Abbott juga minta maaf. "Pemerintah Australia perlu mengklarifikasi berita ini untuk menghindari kerusakan lebih lanjut,"  kata Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Teuku Faizasyah.

Ini bukan kabar pertama soal adanya aksi spionase Australia terhadap Indonesia. Pada 31 Oktober lalu, Sydney Morning Herald merilis berita bahwa kedutaan besar Australia di Jakarta, memiliki fasilitas penyadapan dan melakukan aktivitas pengumpulan intelijen. Dijalankan oleh ASD, program dengan sandi "Stateroom" itu meliputi intersepsi radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet.

Menurut Snowden, State Room itu bagian dari program kemitraan intelijen lima negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Dokumen yang sama juga mengindikasikan bahwa Kedutaan Besar Amerika Serikat di Medan Merdeka Selatan Jakarta juga punya fasilitas rahasia yang sama. Buntut keluarnya kabar ini, Pejambon --markas Kementerian Luar Negeri Indonesia-- menghubungi pejabat kedutaan Amerika untuk meminta klarifikasi. Berbeda perlakuannya terhadap kolega Amerikanya, Duta Besar Australia Greg Moriarty dipanggil ke Pejambon, untuk memberi klarifikasi.

Australia, seperti biasa, tak mengkonfirmasi atau membantah kabar ini. "Ini praktek lama bagi pemerintah Australia untuk tidak mengomentari masalah-masalah terkait intelijen," kata Tony Abbott sembari menambahkan bahwa "Semua pemerintah melakukan pengumpulan informasi (intelijen) dan semua pemerintah tahu bahwa pemerintah lainnya melakukan hal yang sama."

Sikap "tak mengkonfirmasi dan tak membantah" Australia itu tidak memuaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya juga menyayangkan pernyataan PM Australia yang menganggap remeh penyadapan terhadap Indonesia, tanpa rasa bersalah," kata Presiden dalam akun twitter @SBYudhoyono. Dalam cuit lainnya, Yudhoyono mengisyaratkan akan meninjau hubungan bilateral dua negara dan melakukan upaya diplomatik lebih serius dan jarang: menarik duta besarnya.

Yudhoyono tak sekadar mengancam. Duta Besar Indonesia Nadjib Kesoema dipanggil pulang keesokan harinya -- menjadi duta besar kedua yang ditarik dari Canberra dalam beberapa dekade hubungan dua negara. Dalam pernyataan pers kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu pekan lalu, Presiden mempertanyakan mengapa ia dan orang di lingkaran dekatnya menjadi target penyadapan. "Kami bukan musuh," kata Yudhoyono.

Menurut slide berjudul "IA Leadership Target + Handset," orang lingkaran dekat Yudhoyono yang komunikasinya di monitor pada tahun 2009 itu adalah Kristiani Herawati alias Ani Yudhoyono; wakil presiden, Boediono; mantan wakil presiden, Jusuf Kalla; jurubicara presiden urusan luar negeri, Dino Pati Jalal; jurubicara presiden urusan dalam negeri, Andi Malarangeng; Menteri Sekretaris Negara, Hatta Radjasa; Menteri Keuangan Sri Mulyani; Menteri Koordinaot Politik dan Keamanan, Widodo Adi Sucipto; dan Menteri Komunikasi, Sofyan Djalil.

Hari itu Presiden memutuskan berkirim surat kepada Tony Abbott untuk meminta penjelasan resmi soal kabar adanya penyadapan itu. Sambil menunggu jawaban Abbott, Presiden meminta penghentian sementara semua kerjasama militer, serta program pemberantasan penyelundupan manusia dan patroli maritim gabungan. "Tidak mungkin kami melanjutkan kerja sama ketika tidak pasti bahwa sudah tidak ada aksi mata-mata," kata Presiden.

Hari yang sama saat Yudhoyono berbicara di Istana Negara, media Australia, ABC melaporkan bahwa Latihan Elang Aus-Indo di Northern Territory, yang melibatkan 90 tentara angkatan udara dan lima jet tempur Indonesia, langsung dihentikan meski baru berlangsung sehari. Seorang juru bicara Menteri Pertahanan Australia mengatakan, beberapa latihan bersama dalam beberapa bulan mendatang di Australia dan Indonesia juga telah dibatalkan atau ditunda.

***

Australia sudah sejak lama melakukan aksi mata-mata terhadap tetangga utaranya ini. Kedutaan besarnya di Jakarta adalah pos pertama intelijen Australia, Australian Secret Inteligence Service (ASIS) di luar negeri. Sir Walter Crocker, Duta Besar Australia di Indonesia 1955-1956 memberi indikasi bahwa Defense Signal Directorat (kini ASD) secara rutin bisa membaca pesan diplomatik Indonesia sejak pertengahan 1950-an.

Ikhwal penyadapan terhadap Yudhoyono yang menjadi biang keretakan Jakarta-Canberra saat ini, menurut pakar intelijen Profesor Des Ball dari Australian National University, karena Australia adalah pihak dalam United Kingdom - United States of America Agreement (UKUSA), 1946. Australia, bersama Kanada dan Selandia Baru bergabung beberapa tahun sesudahnya.

Kerjasama ini begitu dirahasiakan sehingga perdana menteri Australia tidak menyadarinya sampai 1973, saat pemerintah merombak badan intelijennya. Kesepakatan UKUSA tidak pernah dibuka kepada publik sampai tahun 2005. UKUSA kerap dikenal sebagai "Five Eye", karena merupakan kemitraan badan intelijen sinyal lima negara: National Security Agency (NSA), Amerika Serikat: Communications Security Establishment Canada, Kanada; Government Communications Headquarters (GCHQ), Inggris; Government Communications Security Bureau (GCSB), Selandia Baru; dan Australian Signal Directorate, Australia.

Menurut Ball, perjanjian itu membagi dunia menjadi beberapa daerah pengumpulan informasi. Australia memiliki tanggung jawab melakukan monitoring kawasan tengah Samudera Hindia hingga melintasi Pasifik barat. "Australia memonitor seluruh area itu dan bertukar informasinya dengan Amerika," kata Ball.

Salah satu program bersama UKUSA adalah Xkeyscore, sebuah sistem komputer rahasia yang digunakan oleh NSA untuk mencari dan menganalisis data Internet tentang warga negara asing di seluruh dunia. Program ini dijalankan melalui 90 fasilitas pengawasan AS di misi diplomatik di seluruh dunia -termasuk di Kamboja, Cina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Thailand.

ASD, yang organisasinya di dalam Departemen Pertahanan Australia, mempekerjakan lebih dari 2.000 staf militer dan sipil, dengan anggaran melebihi beberapa ratus juta dolar setahun. Organisasi yang paling rahasia di komunitas  intelijen Australia ini mengoperasikan empat stasiun penting: Pine Gap, dekat Alice Springs; Shoal Bay Receiving Station, dekat Darwin; Australian Defence Satellite Communications Station, di Geraldton; dan HMAS Harman, Canberra.

Dari fasilitasnya  di Shoal Bay dan Cocos Island, intelijen Australia memantau komunikasi militer Indonesia. Dari dua fasilitas yang dibangun dua dekade lalu itu, kata Philip Dorling dalam Sydney Morning Herlad, membuat Australia tahu niat Indonesia untuk menginvasi Timor Timur tahun 1970-an atau menjelang daerah itu merdeka tahun 1999.

Indonesia, kata mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono, pada tahun yang sama juga melakukan penyadapan terhadap Kedutaan Australia. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya dibicarakan tentang kami," kata Hendroprioyono kepada The Age, November 2004. Menurut Hendropriyono, Indonesia juga berupaya merekrut orang Australia untuk menjadi mata-mata tapi tak berhasil.

Mengapa Yudhoyono menjadi target penyadapan tahun 2009, analis kontra-terorisme dari Monash University, Profesor Greg Barton menduga karena terkait pengeboman 17 Juli 2009 di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton. Dari tujuh orang yang tewas, tiga adalah warga Australia. "Anda bisa membayangkan salah satu hal yang Intelijen Australia coba cari tahu, apakah pemerintah Indonesia memiliki beberapa ide lain, atau beberapa petunjuk yang belum dibagi (dengan Australia)," kata Barton.

Bekas Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Muda Soleman Ponto tak heran jika presiden disadap. "Aku saja pasti disadap, apalagi presiden. Itu wajar," kata dia, pekan lalu. Hendropriyono juga berpandangan sama. "Dia (badan intelijen) harus memata-matai dirinya sendiri, memata-matai temannya dan musuhnya. Ini yang harus dia lakukan," kata kepala BIN era presiden Megawati ini.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko Kamis pekan lalu mengakui bahwa penyadapan itu merupakan praktik wajar, meski dia tetap mempertanyakan tujuannya. Kata Moeldoko, "Wajar jika tidak ketahuan. Tapi jadi nggak wajar kalau kemudian bocor." Pandangan senada disampaikan Mark Kenny, koresponden politik The Age. "Abbott benar bahwa semua negara mengumpulkan informasi. Tetapi, aturan pertama dalam permainan mata-mata adalah, jangan sampai tertangkap."

Abdul Manan (ABC, Sydney Morning Herald, The Age, Fery Firmansyah, Heru Triyono)

MAJALAH TEMPO | 1 Desember 2013 (File dalam format .pdf)

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236