Skip to main content

Roda Mulai Berputar di Gaza

Penantian panjang Lutfi Harara, warga Distrik Shuja'iyya, Kota Gaza, akhirnya berujung. Perang Gaza setahun lalu membuat rumah tiga lantainya menjadi puing dan ia bersama 13 anggota keluarganya terpaksa tinggal di dua kamar darurat dengan langit-langit logam tipis di lokasi dekat rumahnya yang sudah tak berbentuk. "Saya menunggu satu tahun penuh untuk membangun kembali rumah yang hancur. Saat-saat tersebut datang hari ini," kata pria 42 tahun itu saat upacara peresmian perumahan di Gaza oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Palestina Mufid Hasayna, Rabu pekan lalu.


Harara senasib dengan sekitar 100 ribu warga Palestina lainnya yang rumahnya hancur akibat Operation Protective Edge Israel tahun 2014 lalu. Berdasarkan mekanisme pemberian bantuan yang diawasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, ia sebenarnya baru dijadwalkan akan menerima material berupa semen, logam, dan pipa pada 26 Juli. Tapi dia meminta material bisa dikirim lebih awal sehingga ia secara simbolis bisa memulai rekonstruksi rumahnya tepat satu tahun setelah dihancurkan Israel.

Mufid Hasayna, saat upacara peresmian, mengatakan, proyek hasil kerjasama PBB dengan negara donor ini untuk merekonstruksi sekitar 18.000 rumah yang hancur. "Yang bisa saya katakan sekarang, roda pembangunan yang dijanjikan mulai berputar dan tidak akan berhenti," kata menteri dalam pemerintahan rekonsiliasi Palestina, yang dibentuk sesuai kesepakatan antara penguasa de facto Gaza, Hamas, dan Presiden Palestina dari Partai Fatah yang berbasis di Tepi Barat, Mahmoud Abbas.

Luluhlantaknya rumah Harara dan kehancuran sebagian besar Gaza bermula dari Operation Protective Edge Juli 2014 lalu, yang kemudian dikenal sebagai perang Gaza 2014. Ini bukan konflik bersenjata pertama Hamas, yang berkuasa di Jalur Gaza sejak 2007, dan Israel. Tapi, perang tahun lalu itu lebih mematikan karena menewaskan 2.104 warga Palestina, lebih besar dari kematian akibat perang 2008-2009 dan 2012.

Pemantik operasi militer Israel itu adalah kasus penculikan tiga remaja Israel --Naftali Frenkel, Gilad Shaer, dan Eyal Yifrah-- pada 2 Juni 2014, di Gush Etzion, di Tepi Barat. Ketiganya ditemukan tewas 30 Juni. Pada 1 Juli, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu melancarkan Operation Brother Keeper, yang dalam dua hari saja saja menewaskan 11 warga Palestina dan menangkap hampir semua pemimpin Hamas di Tepi Barat. Hamas membalas dengan menembakkan roket ke Israel, yang dijawab dengan 80 serangan udara Israel ke Gaza.

Puncaknya, 8 Juli tahun itu, Israel melancarkan operation militer dengan menembakkan artileri dan mengebom 50 sasaran di Gaza, daerah yang dihuni sekitar 1,8 juta jiwa. Hamas membalasnya dengan tembakan roket. Aksi saling mengebom ini berhenti setelah ada proposal gencatan senjata yang disodorkan Mesir, pada 14 Juli. Tapi, masa damai itu tak berlangsung lama.

Israel mempersiapkan operasi serangan darat, melalui Shuja'iyya, setelah ada serangan militan Hamas dari sebuah terowongan di sisi Israel yang berasal dari Gaza. Alasannya, selain untuk menghancurkan terowongan, juga karena lebih dari 140 roket yang ditembakkan ke Israel berasal dari distrik ini sejak 8 Juli lalu.

Menurut mondoweiss.net, serangan pada 19 Juli tengah malam itu diawali dengan dikeluarkannya peringatan kepada warga untuk mengungsi. Khalil Atash, warga Shuja'iyya, sempat mengangap itu lelucon sebelum akhirnya mengungsi. karena Israel sudah menghancurkan semua menara listrik, Khalil harus berlari di kegelapan, di bawah hujan peluru, dengan menggunakan senter di telpon selulernya sebagai penunjuk jalan.

Awalnya serangan ini menemui sedikit perlawanan. Tapi sore harinya, pejuang Hamas memberikan perlawanan hebat. Menurut Al Jazeera, Israel mengerahkan 258 artileri dan menembakkan sekitar 7.000 peluru peledak tinggi ke Shuja'iyya, termasuk 4.800 pengeboman. Rumah Lutfi Harara hancur dihantam mortir di puncak serangan Israel ke Shuja'iyya, pada 22 Juli.

Konfrontasi bersenjata di Shuja'iyya itu ditaksir menewaskan antara 66 sampai 120 warga Palestina, dan merenggut nyawa 13 tentara Israel. Tapi, rumah dan bangunan yang hancur jumlahnya ribuan. Sebuah video BBC, yang merekam Shuja'iyya dengan drone, menggambarkan distrik itu seperti tumpukan puing, luluh lantak bak usai diguncang gempa atau diterjang tsunami. Banyak bangunan rata dengan tanah dan nyaris tak ada konstruksi yang terlihat utuh.

Perang berhenti setelah AS dan PBB mengumumkan gencatan senjata pada 1 Augustus. Dua hari berselang, militer menarik pasukan daratnya keluar Gaza setelah mengklaim berhasil menghancurkan 23 terowongan Hamas dan kelompok militan. Gencatan senjata itu juga tak bertahan lama sampai akhirnya ada kesepakatan 26 Augustus dan mengakhiri perang 50 hari itu.

Prihatin atas kondisi Gaza, sejumlah negara donor bertemu di Kairo, Mesir, Oktober 2014. Dalam pertemuan itu sejumlah negara berjanji membantu dana untuk pemulihan Gaza. Hongaria dilaporkan berjanji menyumbang US$ 160.000, Norwegia US$ 145,000,000, dan Arab Saudi US$ 500 juta. Di atas kertas, ada lebih dari $ 5,4 miliar dana yang akan tersedia --US$ 3,5 miliar dialokasikan untuk rehabilitasi.

Masalahnya, kata Zvi Bar'el dalam edisi khusus Haaretz "The Forgotten War: A Year Since Gaza", yang dirilis awal bulan ini, banyak janji itu yang tak ditepati. Menurut laporan komite Bank Dunia yang mengawasi pengumpulan dana, Juni lalu, hanya US$ 967 juta -sekitar seperempat dari janji yang ditransfer untuk rehabilitasi Gaza. Tapi, 45 persen di antaranya merupakan komitmen terhadap Gaza sebelum perang. "Hanya sekitar 13 persen dari dana yang ditransfer merupakan hasil janji baru," tulis Zvi Bar'el.

Bukan hanya soal ingkar janji ini yang membuat rekonstruksi Gaza, kata kepala badan PBB yang terlibat rekonstruksi Gaza, Roberto Valent, "bergerak seperti kecepatan siput." Menurut Valent, Israel ikut memperlambat dengan membatasi arus material yang melintasi perbatasannya. Tel Aviv beralasan, pengetatan ini sebagai pencegahan agar bahan-bahan itu tak dipakai kelompok militan untuk membuat terowongan baru dan senjata.

Israel kini mengizinkan masuk material bangunan melintas sekitar 450 ton per hari. Tetapi, dengan kebutuhan puluhan ribu yang akan dibangun, jumlah yang dibutuhkan sekitar 3.000 ton per hari. Valent meminta Israel membuka perbatasannya. Jika tidak, kata Valent, rekonstruksi Gaza akan makan waktu 30 tahun.

Perang, dan lambatnya rekonstruksi, membuat frustasi dan ketidakberdayaan. "Orang-orang di tempat lain biasanya menghadapi kerugian tunggal: hilangnya rumah, atau anggota keluarga, atau pekerjaan. Banyak warga Gaza kehilangan semua itu," kata Hasan Zeyada, seorang veteran psikolog di Program Perintis Kesehatan Mental Gaza, yang kehilangan ibu dan lima keluarga dekatnya dalam serangan udara Israel Juli tahun lalu itu.

Data Dana Moneter Internasional menunjukkan, pengangguran di Gaza sekitar 43 persen (60 persen di usia 15-29), menjadikan kawasan ini memiliki tingkat pengangguran tertinggi di dunia. Lebih dari 80 persen penduduknya juga bergantung pada bantuan lembaga internasional, dan lebih dari 60 persen hidup di bawah garis kemiskinan.

Menurut  Zvi Bar'el, tingginya angka pengangguran dan banyaknya orang frustrasi ini harus menjadi alarm tanda bahaya. Ia menilai blokade terhadap Gaza tidak efektif mencegah setidaknya 'dua perang' dan tak mendorong perubahan politik di daerah yang dikuasai Hamas itu. "Meski blokade agak mereda, itu akan terus menjadi bagian dari resep umum untuk konfrontasi berikutnya."

ABDUL MANAN (NEWS24.COM, HAARETZ, BBC, DEUTCHE WELLE, GAZETTEREVIEW.COM) 

Tulisan ini dimuat di Majalah Tempo edisi 2 Agustus 2015. Versi .pdf bisa dibaca di sini.

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236